Judul tulisannya memang sedikit menyebalkan ya hehe. Untuk yang menjalani sebal karena lelah bun, tapi untuk yang membaca karena terasa songong banget tulisannya. Tadi pagi sempat bingung mau menulis apa untuk setoran KLIP hari ini, dan tetiba ada iklan Coursera, trus baca-baca kembali, dan mengingat perjalanan beberapa tahun terakhir ini.
Well, ini sebenarnya mau menulis juga bingung gimana ya supaya gak bernada songong, walaupun menyampaikan fakta, haha. Ya tapi gapapa ya, bismillah, niatnya adalah menata hati dan motivasi kembali untuk terus belajar tanpa pamrih, dan meluruskan niat agar belajar ini jadi kebermanfaatan banyak orang dan tujuan yang memang benar, bukan sekedar gelar, tapi ilmu.
Selain itu juga bukan sekedar ilmu untuk pemahaman, namun ilmu untuk penerapan. Yang terakhir ini yang saya masih kurang. Ilmunya tahu, tapi ketika harus diterapkan, seringkali gak paham, oooh itu fungsinya buat kasus-kasus seperti ini ya.
Fase Sarjana
Setelah melewati S1 yang kadang saya sesali saat berkuliah kurang maksimal, sehingga masih banyak hal yang belum saya bisa. Saya juga menyayangkan kurangnya kesempatan untuk mahasiswa dengan kemampuan akademik menengah, seperti saya, untuk bisa lebih memahami, karena memang interaksi dengan dosen tidak bisa terlalu banyak jika di kampus negeri. Ya gap bahasa juga sih karena dosen-dosennya sangat senior dan biasa mengajar mahasiswa yang ‘didiemin’ saja sudah pasti bisa. Mahasiswa seperti saya terkadang pahamnya baru ketika lulus. Alhamdulillah tetap paham dan tetap bisa menjadi amal jariyah beliau-beliau yang menjadi dosen saya dulu.


Salah satu yang saya sayangkan juga sebenarnya ya sayanya kurang gigih ketika kuliah, asal bisa lulus aja karena memang lulus pun sudah susah. Mungkin ini yang kemudian membawa saya tidak pernah merasa cukup baik dari sisi pemahaman terkait bidang studi yang saya pelajari. Selain itu saya juga hampir tidak pernah merasa cukup percaya diri untuk bisa mengatakan saya lulusan IT yang benar-benar paham isinya dan penerapannya.
Kenang-kenangan berharga S1 ya memang masa-masa bersama teman-teman ya, juga begadang mengerjakan tugas, belajar berorganisasi, dan yang paling epic adalah dapat jodoh teman seangkatan. Alhamdulillah. Walaupun jodoh mah gak kemana, tapi tetap tak terbayang jika saya tidak kuliah di situ, bagaimana bisa ketemu pak suami ya, secara sayanya juga bukan yang tipe berorganisasi sampai bisa kenal lintas kampus.


Setelah lulus S1, saya bekerja sebentar dan melanjutkan S2, yang saya lalui sembari bekerja. Di tengah menjalani S2, saya menikah dan punya anak pertama. Inilah masa-masa memulai kehidupan sebagai ibu yang bersekolah. Waktu itu ingin S2 karena banyak galau dan pikiran sebenarnya. Daripada memikirkan sesuatu yang gak jelas ada, mendingan yang beneran ada, yaitu kuliah.

Fase Paska Sarjana
Oleh karena saya sempat bekerja dan ikut beberapa proyek sebelum melanjutkan S2, maka saya lebih bisa menerima pelajaran ketika S2 ini. Istilahnya lebih bisa relate, dan memang banyak materi pembelajaran yang sifatnya manajerial dan pengalaman. Hal yang saya sesalkan adalah tidak terlalu bagus dalam menyusun tesis yang lebih ke arah kajian daripada penelitian. Inilah kekurangan berikutnya yang membuat saya merasa ‘tidak cukup’.
Oiya, ini salah satu saran saya, bahwa strategi kerja dulu baru S2 sebenarnya bagus juga, gapapa gak terlalu muda ketika sekolah lagi. Jika kita sudah merasakan dinamika dunia kerja, organisasi dan struktur kerja akan bisa mudah relate dengan materinya.
Saya menjalani S2 di tahun kedua dan ketiga dengan kehamilan dan kelahiran anak pertama. Beberapa tahun ini, beberapa kali saya mendengar celetukan orang yang bilang ‘mba Ami hidup dengan berbagai privilege karena suaminya’, dan kadang saya baper mengiyakan omongan itu dalam hati. Saya merasa iya ya, saya bisa apa ya sebagai manusia. Semacam dengan berbagai kemudahan dan fasilitas, kok hidup ya begini-begini saja, tidak banyak bisa berprestasi dan berdampak. Hidup seperti berjalan normal dan baik-baik saja tanpa struggle.
Akan tetapi pikiran seperti ini ternyata tidak sehat. It finally takes a toll on my mind and body. Jadi banyak pikiran, kemudian turun ke Gerd dan saudara-saudaranya. Again, untuk sesuatu yang tidak perlu dipikirkan sebenarnya.
Allah memang Maha Baik, jika sedang seperti ini, ingatan dan memento masa lalu seringkali muncul. Saya pernah lho sekolah dengan bawa anak bayi saya ke kampus dan kantor ketika menjalani S2. Jika sekarang kemana-mana dengan mobil, saya pernah lho bawa bayi naik ojek hujan-hujanan untuk kerja dan sekolah, dan tidak hanya satu, dua kali. I’ve done my struggle.


However, again, S2 saya rasakan juga kurang maksimal, karena ya itu, ntah kenapa ketika sekolah kok motivasinya hanya untuk selesai, tanpa upaya lebih eksplorasi hal-hal lain seperti mengikuti lomba, mencari studi kasus untuk tugas yang lebih susah, dan menjalankan penelitian ketika tesis yang lebih komprehensif.
Akhirnya saya lulus dan setelahnya saya mencoba mencari peruntungan pekerjaan yang lain, yang ternyata menjadi panggilan hidup saya sampai saat ini, menjadi Dosen. Berprofesi sebagai dosen selama setahun membuka mata saya kembali tentang ‘sekolah lagi’. Eventually, jika kita berprofesi menjadi dosen, keharusan sekolah lagi itu pasti kita hadapi, sooner, or later. Mau sekarang pas anak masih kecil, atau nanti pas anak sudah besar. Saat itu masih belum terbayang, bahwa akan ada dua anak kemudian.
Fase Doktoral
Singkat cerita, ternyata Allah memberikan jalan untuk sekolah lagi S3 dengan beasiswa justru ketika pertama kali mencoba mendaftarkan diri. Tidak ada harapan berlebih, karena saya sadari, untuk apply program S3 jalannya tidak semudah S2. Saya perlu spare 2-3 tahun untuk mencari sekolah dan beasiswa. Jadi mendaftarkan diri di tahun pertama tidak serta merta dengan target harus diterima. Sekedar menjalani saja, sambil mencari pengalaman, gak langsung lulus gapapa. Saya sudah siapkan diri saya untuk itu.
Di tengah-tengah proses pendaftaran beasiswa LPDP, ada syarat melakukan medical check up dengan rontgen. Ini yang ternyata menjadi momen saya menyadari bahwa saya hamil anak kedua. Ada proses sangat pusing dan bedrest pun di antara proses seleksi beasiswa tersebut. Akan tetapi alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Suami pun sangat support dalam setiap tahapan.
Beasiswa saya dapatkan pada percobaan pertama, begitu pula dengan letter of acceptance dari Program Doktor Ilmu Komputer di UI. Di tengah-tengahnya tentu saja ada proses nangis-nangis karena betapa susahnya berpikir untuk berlatih soal SIMAK UI di tengah hamil besar, yang memang hamil itu menyita kapasitas otak ya. Alhamdulillah juga rejeki mah ada aja, saya tetap bisa lulus. Intinya usaha iya, berdoa iya, didukung suami iya, tapi prepare for the worst juga. Gapapa kalo gak lulus, nanti coba lagi.
Proses menjalani S3 saya awali dengan punya bayi, dan selama 6 tahun (yup sangat tidak bisa ditiru, dan ini lintas dari sekolah dengan beasiswa, dilanjutkan dengan biaya sendiri paska habis masa tanggungannya). Saya melalui waktu tersebut dengan punya bayi lagi, anak ketiga. Di tengah-tengah itu memang ada pandemi, dan amanah baru pak suami. Saya tidak berhasil menjaga momentum sekolah saya, sehingga tidak bisa lulus tepat waktu dan memuaskan.
Di saat menjalani program S3 ini, saya sering membawa anak-anak saya ke kampus. Bahkan ketika punya bayi yang ketiga, saya bawa dia beserta keranjang bayinya ke berbagai pertemuan bimbingan. Program S3 itu jarang ada kuliah di kelas, lebih banyak bimbingan dengan promotor dan co-promotor.



Ya jika diingat sekarang anak-anak sudah besar, sudah ada pula yang bisa dititipkan. Rasanya kok nyaman kemana-mana bisa sendiri, namun rasa tidak enak terkadang muncul ketika melihat para ibu muda yang sedang struggle. Saya kok hepi-hepi dan santai saja.
Seringkali saya terlupa bahwa dulu saya pernah membawa anak-anak ini selama saya sekolah. I’ve done my struggle, again, and again. Sebenarnya kufur nikmat juga ya, jika justru malah ingin berepot-repot ria lagi seperti dulu. Mungkin sekarang dikasih kehidupan yang less riweuh karena amanahnya sudah berganti yang lebih luas lagi.
Alhamdulillah masa-masa sekolah dulu banyak membuka mata saya, bahwa sekalipun tidak biasa, banyak kok orang yang terbuka terhadap keharusan seorang Ibu membawa anaknya kuliah dan menyusui, termasuk pembimbing-pembimbing saya. Walaupun saya akui, tidak maksimal dalam berkuliah, ya tapi mungkin inilah rejeki saya. Saya bisa membawa anak ke kampus, dan sedikit banyak membuka banyak mata orang lain, untuk bisa lebih bisa menerima dan mendukung para ibu yang sekolah/bekerja namun tetap menyusui dan membawa anak kuliah/ke kantor.

Di sisi substansi belajar, saya merefleksikan memang tidak banyak materi yang saya dapatkan selama S3 karena S3 ini adalah proses mandiri. Mungkin banyak, tapi tidak banyak yang bisa saya langsung terapkan ketika kembali bekerja, karena memang kajian S3 itu cukup tinggi, sehingga tidak langsung implementable di kehidupan sehari-hari. Sebanyak apa kita memperoleh ilmu, ya bergantung pada sebanyak apa kita eksplorasi mandiri. Sayangnya saya kurang sekali di sini.
Alhamdulillah justru yang saya banyak peroleh adalah pelajaran kehidupan dan pola berpikir. Bisa berdiskusi dengan para profesor secara dekat, dan terkadang 0ne-on-one itu membuat pola pikir saya mengalami banyak perbaikan. Baik dari sisi melihat berbagai hal dari berbagai sudut pandang, tetap rendah hati, dan tetap menjaga integritas keilmuan. Ini jadi bekal saya untuk kembali menjalani hidup sebagai istri, ibu, dan juga dosen. Saya lulus di akhir tahun 2022. Kemudian paksu yang juga melanjutkan jenjang S2, lulus di awal tahun 2023.


Fase Berikutnya ?
Saya kembali melanjutkan hidup setelahnya. Akan tetapi kemudian beberapa tahun terakhir, saya semacam kehilangan arah dan momen, selanjutnya harus kemana. Saya baru menyadari, sebagian besar waktu saya, termasuk waktu selama pernikahan, dihabiskan untuk sekolah. Termasuk struggling saya membersamai anak, semuanya dilakukan sembari bekerja dan bersekolah kembali.
Really, I’ve done my struggle, in a hard way.
Pikiran-pikiran kok hidup gini-gini aja tuh tetap hadir dan mengganggu. Semakin tinggi peran suami, semakin mudah kehidupan difasilitasi beliau, semakin nyelekit di hati jika hidup berjalan biasa-biasa saja. Oleh karena itu, saya terus mencari, apa ya yang kurang.
Sampai kemudian saya menemukan, oh gimana kalau mamah sekolah lagi. Mungkin inilah yang hilang dari kehidupan saya. Kenikmatan belajar dan bersulit-sulit mengerjakan tugas, di tengah upaya membagi waktu dengan amanah lainnya, juga membersamai anak. Alhamdulillah Allah bukakan jalan dan suami juga memberi restu untuk saya melanjutkan kembali. Saya memberikan pilihan ke beliau, saya lanjut course saja, atau course dengan degree. Kemudian materinya yang IT sekali, atau yang manajemen. Hasil konsultasi tersebut berujung pada jodoh saya di sekolah berikutnya. Mudah-mudahan berjodoh sampai lulus ya.
Tahun 2024 saya mulai kembali bersekolah, dengan cara berbeda, yaitu secara full Online. Saya sedang kembali (dan berusaha mengembalikan) diri untuk belajar lagi tentang Data Science dengan degree, karena saya memang butuh paham, baik untuk diri sendiri, maupun untuk perkembangan keilmuan, serta agar bisa membimbing anak-anak mahasiswa lebih baik lagi dalam menjalankan riset.
Well, jika diingat proses apply-nya ini juga menarik ternyata jika dituliskan. Again, standar hidup saya yang drastically meningkat, terutama perihal kemampuan diri, membuat semua hal yang luar biasa jadi biasa. Termasuk lanjut sekolah. Semacam, ya biasa aja, semua juga bisa, asal ada kemauan. Kalau saya bisa, maka semua juga bisa. Ya tetap ada perihal keuangan, perihal pemenuhan syarat masuk, restu suami, dan lainnya. Akan tetapi, jika merefleksikan mundur kehidupan saya, dengan banyaknya kemudahan dari Allah untuk sekolah lagi, maka saya bisa simpulkan.
Untuk sekolah lagi, bagi para istri, yang kita perlukan adalah niatan lurus untuk kebermanfaatan orang banyak, serta ridho suami. Rezeki lainnya mengikuti, bahkan termasuk yang impossible.
Impossible ini bisa berbeda ya setiap orang, terutama biaya dan beasiswa, tapi tetap bisa jadi possible dengan kebesaran Allah. Jika lanjut sekolah yang sekarang memang menggunakan tabungan, tapi untuk yang sebelumnya saya lalui dengan beasiswa. Itu benar-benar mission impossible. Saya yang tidak punya portofolio apapun, hanya lulusan biasa, kerja di kampus kecil, prestasi akademik biasa, kemampuan public speaking untuk meyakinkan panelis seleksi juga biasa. Ya tapi rezeki tidak kemana, saya bisa dapat salah satu beasiswa yang paling banyak diincar pencari beasiswa. Mungkin saat itu modalnya adalah sincerity, saya jawab jujur semua pertanyaan panelis tanpa ada yang dibuat-buat.
Kembali ke program sekolah saat ini, mission impossible kali ini adalah syarat masuk. Oleh karena kita apply ke universitas luar negeri, walaupun programnya online, tetap saja ijazah dan transkrip ITB terasa biasa saja karena ternyata lintas jurusan >.<. Lulusan informatika ternyata tidak sehebat jika dibandingkan lulusan jurusan matematika/statistik dalam hal lanjut studi di bidang data science.
Kemudian ada syarat IELTS. Saya tidak pernah sekalipun tes IELTS, apalagi ikut kursusnya. Akan tetapi waktu yang singkat untuk apply membuat saya harus tes tanpa sempat mempersiapkan. Di hari H saya baru mencoba testing gratisan dari lembaga penyedia tes IELTS untuk sekedar tahu sebenarnya soal-soal IELTS itu seperti apa. Boro-boro sempat tahu tips and trick-nya, tahu bahwa IELTS ada 3 jenis tes dan bagaimana bentuk tesnya ya baru beberapa hari sebelumnya. Di tengah tes pun ada berbagai janji sidang mahasiswa, terbayang kan riweuhnya, dan terbayang juga bagaimana susahnya cari waktu belajar. Oiya syarat lulusnya adalah band 6, alias semua jenis nilai harus di atas 6.0.

Again, modalnya ya dulu pas kecil belajar biasa di kelas dan ikut kursus bahasa Inggris biasa. Selebihnya dibentuk dari nonton drakor dan sebangsanya, pakai subtitle bahasa Inggris. Ya mungkin ada juga efek beberapa kali menulis dalam bahasa Inggris dibantu Google Translate dan Grammarly. Akan tetapi sampai saat ini saya masih belum bisa speaking in english fluently. Klo ketemu orang ngomong English ya masih bengong dan pakai yes no aja.
Ada lagi syarat untuk membuat esai personal statement mengapa lanjut kuliah ini. Isinya pun biasa saja, saya hanya niatkan pokoknya yang seperti ini yang penting sincere. Alhamdulillah tembus juga. Berikut sedikit potongan esai saya.
So, back to the question, why do I want to study this course? Well, maybe the correct answer would be “why not?”.
By acquiring this particular knowledge and skills, I hope to better deliver and facilitate my students in data analysis and how we get insight from it. The better we do the analysis, the more impactful the result is. Ultimately, the final objective is to give back to society by conducting good research as an academic and student facilitator.
Honestly, I have no desire to pursue another career. I dream of doing my job as an educator for the rest of my life. My only expectation is that I always have the opportunity to improve my self so that I can deliver my job better, facilitate my students better, and have an actual impact on my society. One day, I, with my students, will develop a nationally and internationally competitive creation.
Selebihnya. Modalnya adalah suami ridha. Insya Allah bisa.
Singkat cerita, alhamdulillah saya diterima. Rasa senang menerima bahwa nilai IELTS saya memenuhi dalam 1 kali percobaan, kemudian dilanjutkan menerima Letter of Acceptance itu rasa bahagianya luar biasa. Saya sempat lupa ada kebahagiaan semacam ini yang bisa kita peroleh dari sekedar proses penerimaan sekolah lagi. Walaupun disebutkan, ada syarat yang perlu dipenuhi, yaitu saya harus lulus 2 mata kuliah pre-kondisi: Programming for Data Science dan Statistical Methods untuk bisa lanjut ke perkuliahan berikutnya. Ya sudahlah, dijalani saja. Lulus walaupun pas-pasan gapapa. Ga lulus, ya uwes ngulang. Kalo ngulang gak lulus, ya uwes daftar ulang >.<. Pokoknya menyiapkan for the worst, walaupun gak siap.

Course pertama lulus pas-pasan karena terkait dengan pemrograman menggunakan Python. Nah, course berikutnya adalah Statistik, haha, susah amat ternyata. Padahal selama ini ya seringkali bersentuhan dengan statistik dan juga menjalankan riset dengan statistik. Ya tapi ternyata banyak statistik yang sangat mendasar, saya belum berhasil paham. Jadilah gak lulus, dan mengulang. Hahaha. Alhamdulillah bisa merasakan gak lulus dan mengulang sesuatu. Jadi bisa menurunkan kejumawaan diri sebagai ‘orang pintar’, melainkan menjadi common people yang bisa gagal dalam berproses, tapi tetap semangat bangkit.
Saat ini saya memang baru kembali belajar lagi untuk materi Statistik karena akan mengulang ujian di bulan Juni. Kenikmatan belajar, mencatat, oret-oret sampai memperoleh jawaban benar itu sempat terlupakan. This is so satisfying.
Ya tapi ternyata kalau sudah mamak-mamak, belajar Statistik jadi sangat syulit buuun >.<.. Soak pisan ini otaknya, susah bener memahaminya. Udah gitu kalo sekarang kan pengennya belajar pelan-pelan, supaya benar paham sampai ke filosofi itu rumus kenapa bisa begitu, trus pada soal dengan kasus apa bisa dipakai, dan kalau di dunia nyata, bisa diterapkan untuk apa. Tujuan belajarnya makin banyak, waktunya jauh lebih sedikit, otaknya pun udah mulai soak karena menua dan jarang dilatih perhitungan dan logika hahaha.
Ya alhamdulillah sekarang sudah ada AI ya, jadi mamak-mamak pun lumayan terbantu belajarnya. Setiap gak ngerti tinggal tanya AI. Bukan untuk mengerjakan tugas ya, namun mencari pembahasan, dan materi/filosofi di balik setiap soal. Syukur-syukur AI nya bisa ditanya, pengembangan materi tersebut jika di dunia nyata diterapkan untuk apa ya. Walaupun jawabannya tidak selalu memuaskan, tapi lumayan lah, daripada yang kayak dulu harus cari dan menelusuri per bab untuk mengaitkan suatu materi/soal.
Well, buun, jadi pengen sekolah lagi gak baca ini? Saya selalu beranggapan, kalau saya bisa, maka yang lain juga bisa, karena basically saya tu biasa aja, bukan yang hebat banget gitu. Yang penting Allah ridha, dan bapak suami ridha.

Insya Allah. Semangat ya semua.
Balik ke niat ya. Kalau gampang bukan sekolah namanya. Ya bismillah, semoga bisa lulus, walaupun pelan-pelan mencicil belajar yang juga belum ideal per pekannya. Berdoa. Berusaha. Dibuat Senang. Bisa selesai dengan baik. Amiin.
No responses yet