Tulisan ini hanya capturing perjalanan saya menjadi mamah yang bersekolah. Saya masih punya banyak lapisan cerita lain, dalam menjalani amanah sebagai dosen, juga dalam mendampingi bapak suami membangun usahanya, sampai kemudian beliau memperoleh amanah berkarya untuk negara. Hal terakhir juga menjadikan saya memperoleh amanah lainnya di organisasi Ikatan Istri, semacam Dharma Wanita jika di instansi negara. Oiya, ada pula cerita membersamai anak kami yang sulung, sang strong-willed child yang sungguh menjadikan cepat sekali membuat banyak kerutan di wajah. Semua cerita ini jika dijadikan satu, maka mungkin netizen dapat memaklumi bahwa akhirnya saya nge-hang

Pada akhir tahun 2024, setelah banyak proses naik turun, meltdown, semangat lagi, meltdown lagi, akhirnya saya ‘fed up’. Memang tidak ada alasan saya untuk lelah dan fed-up karena semua seems so wonderful, though it happened, inevitably

Pokoknya udah. Aku mau udahan dari semua. Aku mau keluar dari semua. Aku mau resign dari semuanya. Saya pun tidak tahu alasannya. Saya juga tidak berhasil mendoktrin dan self-puk-puk diri sendiri untuk semangat lagi. Semacam sistem di tubuh untuk semangat tiba-tiba shutting down, tanpa ada peringatan. Kayak HaPe/Laptop yang baik-baik saja, trus tiba-tiba mati, gak pakai gejala, dan gak mau hidup lagi walaupun diapa-apain juga.  

Hampir di semua amanah, saya nyatakan saya mundur, termasuk profesi, dan berbagai peran lainnya. Walaupun saya hanya bicara ke beberapa perwakilan orang saja. Sekalipun semuanya impossible untuk ditinggalkan. Pilihannya memang hanya bertahan. Tapi niatan untuk menyudahi semua benar-benar nyata. Alhamdulillah kejadian itu di awal Desember. Pada akhir desember, ketika libur natal dan tahun baru, semua load pekerjaan dan amanah tiba-tiba meredup, termasuk keriweuhan sekolah anak-anak. 

Ah. Saya ternyata hanya butuh pause sejenak. Kalau kata orang-orang Informatika. Lagi butuh di-defrag*.

*) Defragmentasi adalah proses yang mengorganisir ulang file-file di hard disk sehingga bagian-bagian dari setiap file disimpan berdampingan, yang dapat meningkatkan kinerja dan memaksimalkan ruang disk.

Yup, saya hanya butuh waktu untuk menata ulang semuanya. Mencari tahu apa bottleneck-nya, apa yang gak rapi, apa yang akan jadi bom waktu, menata ulang dan menjalani kembali semua pelan-pelan.

Sebagai seorang ibu, tentunya bisa ditebak, bottleneck utama adalah di keinginan membersamai anak. Kekecewaan terhadap diri akibat anak-anak kadang sering salah baju, salah mengumpulkan tugas, atau sekedar perasaan ini anak-anak aku kok pinter, tapi gak maksimal ya potensinya, ini perlahan eating me inside. Ini semua pasti salah mamanya karena tidak cukup membersamai.

Di antara kesenangan saya menjalani peran-peran saya di luar rumah, ternyata deep down inside, ada rasa kurang terus menerus dalam membersamai anak. Walaupun jika semua amanah dikosongkan, ya tetap segitu-segitu aja kemampuan membersamainya. Selain anaknya jadi bingung kenapa mamah tiba-tiba rese’ nyuruh belajar, hapalan dan lain-lain, juga karena saya masih sering have no idea ini anak-anak harus diapain ya. 

Selain it, isu berikutnya adalah sustainable living vs konsumerisme. Saya akhirnya menyadari, idealisme saya untuk belajar hidup yang lebih sustainable dan peduli lingkungan tidak akan pernah terwujud jika cara hidup saya selalu berlari kencang dan mengikuti perkembangan yang ada. Setiap butuh sesuatu or ada yang hilang, tinggal beli baru, cari baru, pinjem baru, bikin baru. Padahal seringkali jawabannya ada di depan mata, jawabannya sederhana, tanpa perlu berbuat apa-apa sudah ada. Namun jika kitanya berjalan terlalu kencang, maka sudah pasti hal-hal sederhana seperti ini tidak akan terlihat.

Jadi saya memang meniatkan di tahun 2025 ini semacam ‘moratorium’ kehidupan, menunda sejenak berbagai hal. Walaupun persisnya bukan menunda, tapi slowing down agar semua ‘hutang’ masa lalu bisa teratasi, memperbaiki tata kelola menjalankan amanah agar dapat dijalani dengan less stress tapi optimal.

Caranya ya dengan tidak terlalu kencang berlari di kehidupan ini, dengan tidak mengerjakan banyak hal dalam satu waktu, namun mencoba satu-satu diselesaikan pelan-pelan, sementara hal lain dibiarkan menunggu dulu. Sekalipun mungkin jadi omongan, sekalipun sesekali bisa mengecewakan orang lain, tapi ya sudahlah. Eventually ada saatnya nge-rem dulu dengan harapan bisa perform lebih baik lagi kedepannya. 

Selain itu cara berikutnya adalah hidup lebih sederhana. Tidak ada lagi berjam-jam menekuni instagram atau e-commerce mencari suatu barang seperti riset skincare dan make up, baju, peralatan rumah. Saya ubah perlahan menjadi ‘ada gak di rumah? punya gak? bisa gak beli lagi gak? bisa cukup dengan yang ada gak? bisa gak pake merk yg biasa dipake aja, gak coba yang lain lagi?’. Hidup lebih sederhana ini sungguh cita-cita. Selain memang baik, namun otak juga lebih luang untuk dipakai berpikir hal-hal yang lebih penting daripada riset panjang tentang barang duniawi. 

Saya kemudian bilang ke bapak suami pelan-pelan. Beliau, sebagai pelari cepat, literally, dan figuratively in life, saya meminta pengertiannya, bahwa istrinya yang sebelumnya larinya pelan, akan lebih pelan lagi. Kemudian saya merelakan kekhawatiran tidak fit-in, atau tidak keep-up dengan people expectation itu terjadi. Ya sudah biarin aja orang gak suka, orang mengeluhkan, orang kecewa. 

So be it. I am sorry, but I have to.

Tidak ada lagi kerja multi-tasking. Saya usahakan semua satu-satu dalam satu waktu, yang lain menunggu.  Ritme ini perlahan bisa berjalan. Ritme yang ternyata di ujung hasilnya sama-sama selesai, tapi lebih less drama, dan less iterasi, karena kesalahan yang muncul lebih sedikit.

Dengan mengerjakan hal satu-satu ini, termasuk dalam membersamai anak-anak belajar, or bermain, tanpa disambi-sambi cek hape, juga menyadarkan saya. Membersamai anak tidak sesusah itu, tidak sepanjang itu waktunya. Cukup beberapa menit tapi full focus. Selebihnya mereka lebih suka dilepas karena mungkin ya cetakan dari Allahnya sudah demikian. Anak-anak lahir di keluarga yang ayah dan mamanya super riweuh, jadi mereka dibekali kemampuan dan kemandirian dalam eksplorasi. 

Saya pun jadi sempat berpikir, bahwa segala ketakutan, kekhawatiran, dan kekecewaan terhadap diri sendiri, tidak semuanya nyata. Tugas orang tua tidak mesti harus every step of the way. Dalam belajar anak, tidak selalu harus ada di dalamnya. Tugas penting orang tua adalah menjaga koridor, value, dan memberikan wawasan seluas-luasnya, serta bersabar atas prosesnya, tidak berharap akan hasil tertentu, melainkan bersiap akan surprise kehidupan karena kadang-kadang anak bisa dengan ajaibnya tidak selalu memenuhi standar pada umumnya, namun melebihi ekspektasi kita di hal lainnya dengan cara mereka sendiri. 

Ya Allah ini alhamdulillah pisan diberikan kesempatan menulis seperti ini, benar-benar menata kembali hati, ritme yang rusak kalau lagi banyak kegiatan di luar ritual harian, seperti liburan, dan event besar.

Bismillah. Semangat lagi menjalani hidup. Insya Allah.

#

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *